SMS
saya pada putra kedua yang sedang mengikuti babak final Lomba Lukis
Remaja Tingkat Nasional di jawab, “Aku nggak menang, tapi puas banget”.
Hmm…bisa mengambil pelajaran dari sebuah nilai persaingan dan pertemanan
adalah prestasi baginya.
Ibu dari Widad Maulana (mhs FE UNPAD, alumni SMA Al Hikmah), ‘Azza Habibullah (kls XI, alumni SMP Al Hikmah) & Mi’raj Shabrin Jamil (kls IX SMP Al Hikmah). Istri dari Drs. Bachtiar Sunasto, MS.
Bagi
kami prestasi tak mesti bermakna menjadi juara, meraih piala. Prestasi
bagi setiap keluarga pasti memiliki definisi operasional yang berbeda.
Ada yang menganggap bahwa menjadi juara kelas barulah disebut
berprestasi. Ada pula yang beranggapan bahwa tercapainya target yang di
tetapkan bersama adalah prestasi. Yang lainnya menyebutkan bahwa proses
yang berjalan ke arah positif sudah merupakan sebuah prestasi. Yang
pasti, ukuran prestasi harus disesuaikan dengan usia perkembangannya.
Sebelum
orang tua mendorong anak untuk memiliki “prestasi” seperti impian kita,
perlu upaya mengenali potensi masing-masing anak karena mereka adalah
makhluk yang unik. Potensi yang
harus dipandang secara jernih tanpa memasukkan pretensi orang tua, yang
secara tidak sadar sering “mematok” impian masa kecil kita pada anak
tanpa menimbang apakah ia menyetujuinya atau tidak.
Tidak
ada salahnya jika orang tua secara terbuka mendiskusikan kelebihan dan
kekurangan anak dalam obrolan-obrolan ringan dengan mereka. Termasuk
usulan-usulan untuk meminimalisir kekurangannya dan memperbesar potensi
yang dimilikinya. Tidak ada salahnya jika kita membuka peta potensi ini
pada semua anak yang sudah dapat diajak berdialog. Dengan demikian
mereka berpikir bahwa orang tua tetap berlaku adil walau memperlakukan
anak secara berbeda. Meskipun orang tua tidak bermaksud membandingkan
atau membedakan satu anak dengan lainnya. Anak belajar bahwa orang tua
mereka memberi support pada masing-masing anak sesuai
kebutuhannya. Anak jadi tahu bahwa orang tua akan selalu mendukung
mereka untuk berprestasi dalam bidang yang mereka minati.
Kadang
kala kita terhenyak dengan keputusan anak untuk mengelola potensi yang
dimilikinya. Acapkali kita mendorong terlalu keras. Maksud hati ingin
menunjukkan dukungan, tetapi tidak selalu disambut positif oleh anak.
Orang tua bisa jadi memandang sang anak memiliki potensi kuat untuk
berprestasi dalam bidang akademis misalnya. Namun ternyata sang anak
memutuskan untuk mengembangkan bakat seninya. Sesuatu yang mungkin
membuat kita khawatir akan masa depannya. Biarkan anak mengeksplorasi
potensinya sehingga ia memiliki jutaan pengalaman yang akan menjadi
modal hidupnya kelak. Kita tinggal mengarahkan dan berdo’a agar
langkahnya diridhoi Allah.
Hal
yang paling krusial justru ketika anak tidak mengenali potensi dirinya,
tidak mau mengembangkannya dan kita selaku orang tua memaksakan
kehendak. Sudah saatnya kita membuka komunikasi yang produktif dengan
buah hati kita. Komunikasi yang mengarahkan mereka pada pilihan hidup
yang sudah diketahui segala resikonya dan mereka mengoptimalkan potensi
yang dimiliki untuk kebaikan umat manusia. Inilah prestasi sesungguhnya.
Wallahu’alam
Oleh: Ledia Hanifa Amaliah
Ibu dari Widad Maulana (mhs FE UNPAD, alumni SMA Al Hikmah), ‘Azza Habibullah (kls XI, alumni SMP Al Hikmah) & Mi’raj Shabrin Jamil (kls IX SMP Al Hikmah). Istri dari Drs. Bachtiar Sunasto, MS.