Kita tentu belum lupa dengan kisah
mengenai Alif, siswa SDN Gadel 2 Surabaya yang kini bisa menikmati
sekolah gratis di SMPM 12 GKB Gresik. Ia dipaksa menyebarkan contekan
oleh gurunya saat berlangsung Ujian Nasional SD tahun lalu. Ia diajari
cara menterjemahkan kode jawaban dari gurunya, kemudian memperlihatkan
lembar jawabannya kepada teman yang lain. Kasus contekan massal yang
kemudian terbongkar dan menjadi isu nasional saat itu sungguh sangat
ironis. Siami, ibu si Alif yang membongkar ketidakjujuran yang
diinisiasi oleh pihak sekolah atau guru itu kemudian harus berjuang
ditengah perlawanan sekolah dan masyarakat sekitar yang takut anaknya
tidak diluluskan.
Kasus ini
ironis, sekaligus inspiratif. Ini ironis sebab dari kasus ini adalah
fenomena puncak gunung es dari kondisi yang sama yang terjadi di banyak
sekolah lain di negeri ini. Contek-mencontek adalah “budaya” sekolah
kita. Peristiwa ini ironis karena membuka mata kita bahwa peran guru
dalam membangun budaya kejujuran akademik masih sangat rendah, bahkan
bukannya guru ikut berperan aktif membangun budaya kejujuran akademik
itu, mereka malah mengajarkan kepada siswanya bagaimana berbuat tidak
jujur. Guru yang seharusnya mengajari siswa agar memiliki skill dan
kepribadian yang baik malah menjerumuskan mereka pada budaya
ketidakjujuran akademik, yang pada masa-masa selanjutnya akan merembet
pada ketidakjujuran di luar aspek akademik.
Kasus ini ironis karena ia juga
mengungkapkan fakta bahwa sebagian besar anggota masyarakat masih belum
sepenuhnya memahami pentingnya kejujuran, sebagian dari kita lebih
mementingkan nilai yang tertera di rapor ketimbang “nilai-nilai” moral
yang dipegang sebagai prinsip hidup oleh anaknya. Sebagian dari kita
juga belum sepenuhnya memahami peran guru dalam membangun budaya
kejujuran akademik. Bukannya membela Ibu Siami, mereka malah membela
guru yang bersalah itu dan melawan Ibu Siami demi kepentingan semu
kelulusan anaknya.
Kasus ini juga ironis karena sekolah
sebagai lembaga pendidikan di Indonesia masih jarang sekali memiliki
sistem yang baik, baik itu sistem pengajaran akademik maupun pengajaran
karakter yang mengkondisikan peserta didik memiliki kompetensi sesuai
dengan standar kompetensi lulusan yang memadai dan sikap hidup yang baik
tanpa berbuat kecurangan. Karena sekolah tidak memiliki prinsip
memegang kebenaran, termasuk kejujuran akademik, maka sekolah tidak
memahami peran guru dalam membangun budaya kejujuran akademik.
Namun kisah si Alif juga inspiratif
karena memberitahu kita tentang pentingnya dunia pendidikan di Indonesia
untuk lebih memperhatikan pendidikan karakter yang selama ini
terabaikan oleh penilaian akademik semata, juga pentingnya dunia
pendidikan kita menyadari peran guru dalam membangun budaya kejujuran
akademik. Guru sebagai pengajar dan pendidik adalah sentral dari proses
belajar mengajar, bagaimana kualitas guru begitulah kualitas peserta
didiknya.
Dalam mewujudkan tercapainya budaya
kejujuran akademik (dan non-akademik), guru harus menjadi bagian
terdepan. Para guru harus menerapkan 4P untuk memulainya, 4P itu
sebagaimana diuraikan berikut ini;
Peneladanan
Guru itu adalah orang yang digugu dan ditiru, dituruti perkataannya dan contoh tingkah lakunya. Sebagian besar guru tahu tentang teori Modelling, bahwa anak-anak butuh contoh, model, uswah, atau idola yang ditirunya. Ia berada dalam tahap peniruan (mimetis)
akan orang-orang disekelilingnya dan mengambil sebagai contoh perilaku
yang akan ia coba lakukan dalam membentuk kepribadian dan jati dirinya.
Sebagai pendidik, guru harus bisa menjadi
teladan. Ini adalah harga mati. Guru bukanlah orang yang bertugas
menjadikan seseorang pandai semata, ia juga perlu menunjukkan kepada
siswanya bagaimana bersikap yang baik dalam hidup.
Kadang-kadang yang terjadi sebaliknya.
Guru secara tidak sadar melakukan perbuatan yang menjadi contoh buruk
bagi peserta didik, dalam hal kejujuran. Misalnya saja guru yang
memanipulasi nilai ujian (mengatrol nilai) agar ia tidak perlu melakukan
remidial teaching, atau agar tidak dianggap gagal dalam
mengajar, atau guru yang malah menyarankan agar siswanya memanipulasi
nilai rapor agar bisa masuk ke lembaga pendidikan favorit.
Yang sering terjadi adalah seperti kasus
bu Siami: guru menyuruh siswanya menyontek. Ini ironis, seorang guru
yang harusnya memberi keteladanan malah menjerumuskan siswanya dalam
tindakan tercela. Bukan menjadi teladan, guru seperti ini malah menjadi
pelaku kejahatan.
Jadi tidak bisa dipungkiri lagi, agar
terwujud peran guru dalam membangun budaya kejujuran akademik, hal
pertama yang mesti ia lakukan adalah menjadi teladan, tentu teladan yang
baik.
Pengarahan
Disamping menampilkan diri sebagai
pribadi yang jujur—dengan jujur pula—guru juga perlu memberikan
pengarahan kepada peserta didik tentang pentingnya kejujuran. Ini
bukanlah tugas guru agama semata, tapi tugas semua guru. Guru perlu
menyadari perannya dalam membangun budaya kejujuran akademik sebagai
“tugas bersama”, bukan tugas “mereka”. Hal ini bisa dilakukan misalnya
dengan menyelipkan nilai-nilai moral—tidak hanya kejujuran—dalam
materi-materi yang mereka ajarkan.
Tidak hanya didalam kelas, guru juga
perlu memberikan pengarahan di luar kelas. Guru bisa memposisikan diri
sebagai teman, yang bisa diandalkan siswa untuk mendapatkan pendidikan
nilai-nilai. Peran guru dalam membangun budaya kejujuran akademik tidak
terbatas di dalam kelas atau saat pelajaran, tapi juga di luar kelas
saat tidak ada jam pelajaran.
Pujian
Guru juga perlu memberikan penguatan positif (reinforcement).
Berikan pujian pada peserta didik jika ia melakukan perilaku yang
didasarkan pada kejujuran. Pujian ini akan memberikan mereka semangat
dan memotivasi mereka berbuat jujur pada waktu yang lain.
Penghargaan
Penguatan positif juga perlu dilakukan dalam bentuk pemberian penghargaan (reward).
Misalnya saja seorang siswa yang berhasil mengerjakan soal ulangan
tanpa mencontek atau tanpa menoleh kanan-kiri akan mendapatkan tambahan
poin. Kadang-kadang dalam beberapa kasus, juga diperlukan sanksi (punishment) kepada siswa yang tidak jujur, misalnya poin perolehannya dikurangi. Guru juga bisa mengadakan semacam penghargaan atau achievement award bagi siswa yang nilainya bagus tapi didapat dengan kejujuran. Ini akan membuat teman-temannya yang lain menemukan role model yang baik yang bisa ditiru.
Pada akhirnya, untuk mewujudkan semua
ini, setiap pendidik harus menyadari peran guru dalam membangun budaya
kejujuran akademik. Dalam mewujudkannya, peran guru adalah sentral,
bukan perenial. Upaya guru secara kultural ini juga harus diwadahi
secara struktural dengan menciptakan sistem pendidikan yang mendukung.
Masyarakat juga harus mendukung. Memang bukan hal yang mudah, namun juga
bukan hal yang tidak mungkin. Jika kita berusaha, jika kita percaya. Insya Allah. []
SUMBER http://afkareem.smam1gresik.sch.id/?p=282